Bersedekah Agar Ditambahkan Rizkinya Di Dunia Syirik?
Editor |
Kamis, 27 September 2012 - 12:37:52 WIB
| dibaca: 3515 pembaca
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Diantara perkara-perkara yang disangka merusak keikhlasan, bahkan
dianggap perbuatan kesyirikan padahal sebenarnya tidak, adalah:
Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari'at
Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu" (QS Al-Baqoroh : 198)
Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji
sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya
seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan
perdagangannya untuk riyaa'. Karenanya perdagangannya tersebut bukanlah
kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil berdagang, dan
berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti ini.
Contoh lagi sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ
"Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah" (Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)
Hadits ini menunjukan akan bolehnya seseorang bersedekah dengan niat
agar orang yang sakit dari keluarganya disembuhkan oleh Allah dengan
sebab sedekah tersebut.
Nabi juga bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنَسَّأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi" (HR Al-Bukhari no 2067 dan Muslim no 2557)
Hadits ini jelas menunjukkan akan bolehnya seseorang bersilaturahmi
dengan niat agar dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Bahkan Allah berfirman
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. (QS At-Tholaaq : 2-3)
Ayat ini jelas bahwsanya boleh seseorang bertakwa kepada Allah dengan
niat agar diberi jalan keluar oleh Allah dan diberi rizki dari arah yang
tidak ia persangkakan.
Sebagian ulama menyangka bahwasanya jika dalam ibadah
tercampurkan/tersyarikatkan niat-niat keduniaan maka ibadah tersebut
tidak sah. Akan tetapi hal ini merupakan kesalahan. Al-Imam Al-Qoroofi
salah seorang ulama besar dari madzhab Maliki telah menjelaskan dengan
gamblang tentang perbedaan antara riyaa' dengan mencampurkan niat
keduniaan dalam ibadah. Al-Qorofi rahimahullah berkata :
"Perbedaan yang ke 102, antara kaidah riyaa' dalam peribadatan dengan
kaidah tasyriik (mencampurkan niat keduaniaan-pen) dalam ibadah.
Ketahuilah bahwasanya riyaa' dalam peribadatan adalah syirik, serta
mempersyerikatkan bersama Allah dalam ketaatannya. Dan hal ini
melazimkan kemaksiatan dan dosa, serta batilnya ibadah tersebut….
Penjelasan kaidah (riyaa') ini dan rahasainya adalah seseorang
mengamalkan suatu amalan yang diperintahkan untuk bertaqorrub dan dia
memaksudkan dengan amalan tersebut wajah Allah dan juga agar orang-orang
mengagungkannya atau sebagian orang, maka dengan diagungkannya dia
sampailah kemanfaatan orang-orang tersebut kepadanya atau ia
terhindarkan dari gangguan mereka. Ini adalah kaidah dari salah satu
dari dua model riyaa'.
Adapun model yang lain, yaitu ia beramal dengan suatu amalan yang ia
sama sekali tidak mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia hanya ingin
(pengagungan/sanjungan) manusia saja. Model ini dinamakan dengan riyaa
yang murni, adapun model yang pertama dinamakan dengan riyaa' syirik,
karena model ini tidak ada pensyarikatan, semata-mata mengharapkan
pujian manusia saja, adapun model yang pertama pensyarikatan antara
manusia dan Allah….
Adapun hanya sekedar pensyarikatan –seperti seseorang yang berjihad
untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan juga untuk
memperoleh harta gonimah- maka hal ini tidaklah memudhorotkannya, serta
ijmak (kesepakatan/konsensus) ulama bahwasanya hal ini tidak haram
baginya, karena Allah menjadikan harta gonimah dalam ibadah jihad. Maka
tentunya ada perbedaan antara seseorang yang berjihad agar orang-orang
mengatakan "ia adalah seorang pemberani", atau agar sang imam/pemimpin
negara menghormatinya sehingga memberikannya banyak harta dari baitul
maal, maka hal ini dan yang semisalnya adalah riyaa' yang haram. Berbeda
dengan seseorang yang berjihad untuk memperoleh budak tawanan wanita,
hewan tunggangan perang, dan persenjataan musuh, maka hal ini tidaklah
memudorotkannya, padahal ia telah mensyerikatkan (niatnya-pen). Dan
tidaklah dikatakan bahwasanya hal ini adalah riyaa, karena riyaa' adalah
ia beramal agar makhluk Allah melihatnya… maka barangsiapa yang tidak
melihat dan tidak memandang maka tidaklah dikatakan pada suatu amalan
–dari sisinya- adalah riyaa'. Harta gonimah dan yang semisalnya tidaklah
dikatakan ia melihat atau memandang, maka tidaklah benar jika dikatakan
lafal riyaa' kepada benda-benda ini karena mereka tidak melihat.
Demikian pula seseorang yang haji lalu mensyarikatkan dalam hajinya
maksud untuk berdagang, yaitu mayoritas tujuannya atau bahkan seluruhnya
adalah bersafar untuk berdagang secara khusus, dan hajinya –ia
maksudkan atau tidak- akan tetapi hanya bersifat mengikuti tujuan
dagangnya. Hal ini juga tidaklah merusak keabsahan hajiaya, dan tidak
menimbulkan dosa dan kemaksiatan.
Demikian pula orang yang berpuasa agar tubuhnya sehat, atau agar hilang
penyakitnya yang bisa disembuhkan dengan puasa, maka jadilah penyembuhan
merupakan tujuannya atau diantara tujuannya dan puasa dibarengkan dalam
tujuannya. Lalu ia melakukan puasa disertai dengan tujuan-tujuan ini.
Hal ini tidaklah merusak puasanya, bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam telah memerintahkan dalam sabdanya, "Wahai para pemuda, barang
siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah, barang siapa
yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi
perisai baginya", yaitu pemutus syahwatnya. Maka Nabi memerintahkan
berpuasa untuk tujuan ini, jika hal ini bisa merusak keabsahan puasa,
tentunya Nabi tidak akan memerintahkan hal ini dalam peribadatan, dan
juga tidak menyertakan tujuan ini dalam niat ibadah. Diantaranya juga
orang yang memperbarui wudhunya agar lebih segar dan lebih bersih.
Seluruh tujuan-tujuan ini tidaklah terdapat padanya pengagungan makhluk.
Akan tetapi hanyalah pensyerikatan perkara-perkara kemaslahatan yang
tidak memiliki indra, dan tidak bisa memiliki indra (penglihatan) dan
tidak layak untuk diagungkan. Maka hal ini tidaklah merusak keabsahan
ibadah…
Benar bahwasanya tujuan-tujuan ini yang mencampuri ibadah bisa jadi
mengurangi ganjaran ibadah. Ibadah yang tujuannya murni dan bersih dari
tujuan-tujuan duniawi ini maka pahalanya lebih besar dan banyak. Adapun
dosa dan batilnya ibadah maka tidaklah ada dalilnya" (Al-Furuuq li
Al-Qoroofi, tahqiq : Umar Hasan Al-Qiyyaam, Muassasah Ar-Risalah,
cetakan pertama 3/10-12)
Akan tetapi tentunya ada perbedaan antara seseorang yang niatnya murni
semata-mata karena mencari ganjaran akhirat, lantas setelah itu ia
memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia. Maka orang yang seperti ini
tentunya tidak berkurang sama sekali pahalanya. Berbeda dengan seseorang
yang sejak awal beribadah dalam niatnya sudah tercampur niat keduniaan
(untuk memperoleh harta dunia) maka orang inilah yang pahalanya
berkurang. (Lihat Ihkaam Al-Ahkaam karya Ibnu Daqiiq al-'Ied hal 492,
tahqiq Mushthofa syaikh, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama)
Seorang yang berjihad niatnya semata-semata untuk menegakkan kalimat
Allah dan berharap ganjara akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh
gonimah harta rampasan perang musuh maka pahalanya sempurna. Karenanya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallampun serta para sahabat mengambil harta
rampasan perang. Berbeda halnya dengan seseorang yang sejak awal
berangkat berjihad niatnya sudah tercampur dengan tujuan untuk
memperoleh harta rampasan perang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda ;
مَا مِنْ غاَزِيَةٍ تَغْزُو فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُصِيْبُوْنَ
الْغَنِيْمَةَ إِلاَّ تَعَجَّلُوا ثُلُثَيِ أَجْرِهِمْ مِنَ الآخِرَةِ
وَيَبْقَى لَهُمُ الثُّلُثُ وَإِنْ لَمْ يُصِيْبُوا غَنِيْمَةً تَمَّ
لَهُمْ أَجْرُهُمْ
"Tidaklah ada pasukan yang berjihad di jalan Allah lalu memperoleh
harta gonimah kecuali mereka telah menyegerakan dua pertiga pahala
akhirat mereka, dan tersisa bagi mereka sepertiga pahala akhirat mereka.
Jika mereka tidak memperoleh gonimah maka sempurnalah pahala mereka" (HR Muslim no 1905)
Karenanya mungkin kita bisa membagi permasalahan ini dalam beberapa bagian berikut:
Pertama : Seseorang yang beribadah murni karena
riyaa…, sama sekali tidak terbetik dalam hatinya keinginan untuk meraih
pahal akhirat. Riyaa yang seperti ini jika selalu terjadi dalam
peribadatan, maka hampir-hampir tidak dilakukan oleh seorang muslim,
akan tetapi terjadi para orang-orang munafik
Kedua : Seseorang yang beribadah dengan riyaa', ia
mengharapkan wajah Allah, ia mengharapkan ganjaran akhirat, akan tetapi
ia juga mengharapkan pujian manusia, sanjungan dan pengagungan dari
mereka terhadap dirinya. Inilah riyaa' yang sering menimpa kaum
muslimin.
Ketiga : Seseorang yang tatkala beribadah sama sekali tidak
terbetik dalam hatinya untuk memperoleh ganjaran akhirat, akan tetapi
niatnya murni untuk mencari perkara duniawi, inilah yang dinamakan oleh
Al-Qoroofi dengan Riyaa nya ikhlas/murni. Allah berfirman :
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami,
berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bagian (yang
menyenangkan) di akhirat. (QS Al-Baqoroh : 200)
Keempat : Seseorang yang beribadah murni ikhlash karena
Allah, dan tidak ada dalam niatnya untuk memperoleh pujian manusia, dan
juga tidak ada niat untuk memperoleh tujuan duniawi. Maka orang seperti
ini pahalanya sempurna, meskipun setelah itu ternyata ia memperoleh
perkara-perkara dunia, baik dipuji atau memperoleh harta dunia karena
amalannya maka sama sekali tidak mempengarui kesempurnaan pahalanya.
Hal ini seperti seseorang yang setelah beramala sholeh lalu ia dipuji
orang lain, dan kemudian dalam hatinya terbetik rasa gembira dengan
pujian tersebut. Maka ini tidaklah mempengaruhi kesempurnaan pahala
ibadanya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian
manusia.
Ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ
النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ ».
“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan
kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita gembira
bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR Muslim no 2642).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan
mencintainya. Lalu Allah menjadikan makhluk/manusia mencintainya pula"
(Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/189)
Demikian pula seseorang yang berjihad ikhlash dan tidak terbetik dalam
hatinya untuk mecari gonimah, lantas setelah itu iapun memperoleh harta
gonimah.
Kelima : Seseorang yang beribadah ikhlash karena
mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia menyertakan dalam niatnya
tujuan-tujuan yang lain, maka kondisi orang ini ada tiga kemungkinan
(1) Tujuan-tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang
mulia dan berkaitan dengan akhirat. Maka orang seperti ini memperoleh
ganjaran yang ganda berdasarkan niat gandanya. Contohnya seseorang imam
yang sengaja memperpanjang ruku'nya karena ia merasa ada makmum yang
terlambat yang segera ingin ruku' bersamanya agar memperoleh pahala
raka'at. Maka imam ini telah melakukan dua kebaikan. Al-'Iz bin Abdis
Salaam berkata, "Apakah perbuatan seorang imam yang menunggu makmum
masbuq agar mendapatkan ruku' termasuk kesyirikan?. Aku katakan
bahwasanya sebagian ulama menyangka perkaranya demikian, akan tetapi
perkaranya tidak sebagaimana yang mereka sangka. Justru hal ini adalah
bentuk mengumpulkan dua qurbah (amal sholeh), karena ia telah membantu
makmum untuk mendapatkan ruku' dan ini merupakan amal sholeh tersendiri"
(Qowaa'id Al-Ahkaam Fi Mashoolih al-Anaam, karya Al-'Izz bin Abdis
Salaam 1/212, tahqiq DR Utsman Jum'at, Daarul Qolam)
Lalu Al-'Izz bin Abdis Salaam menyebutkan dalil akan hal ini, yaitu
bahwasanya ada seseorang yang sholat sendirian lalu Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berkata, "أَلآ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا
فَيُصَلَيَ مَعَهُ؟" Adakah seseorang yang bersedekah terhadap orang ini,
lalu sholat berjama'ah bersamanya?. (HR Abu Dawud 574 dan dishahihkan
oleh Al-Akbani). Lalu ada seseorang yang sholat bersama orang tersebut.
Dan Nabi tidak menjadikan amalan ini sebagai suatu bentuk riyaa' atau
kesyirikan (Lihat Qowaa'idul Ahkaam 1/213).
Dalil lain yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنِّي لَأَقُوْمُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ
فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكاءَ الصَّبِيِّ، فأتَجوزُ؛ كراهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ
عَلَى أُمِّهِ
"Sungguh aku hendak sholat dan aku ingin memperpanjang sholatku,
lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka akupun
meringankan/mempercepat sholatku kawatir memberatkan ibunya" (HR Abu Dawud no 755 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فِي
مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيْدُ
الصَّلاَةَ أُصَلِّي كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي
Dari Abu Qilabah ia berkata, "Malik bin Al-Huwairits radhiallahu
'anhu datang di masjid kami ini, lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku akan
sholat mengimami kalian, dan sebenarnya aku tidak ingin sholat, aku
sholat sebagaimana aku melihat Nabi shlallallalhu 'alaihi wa sallam
sholat" (HR Al-Bukhari no 677).
Al-Hafiz Ibnu Hajr berkata, "Malik bin al-Huwaits memandang bahwa
mengajari tata cara sholat dengan praktek lebih jelas dari pada dengan
perkataan. Ini dalil akan bolehnya hal ini, dan hal ini tidak termasuk
dalam bab kesyirikan dalam ibadah" (Fathul Baari 2/163)
(2) Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia,
akan tetapi diperbolehkan dalam syari'at berdasarkan dalil-dalil yang
ada. Seperti seseorang yang bersilaturahmi selain ingin memperoleh
pahala dari Allah ia juga ingin diperpanjang umurnya dan ditambah
rizkinya. Atau seseorang yang bersedekah selain karena berharap pahala
akhirat ia juga ingin sedekah tersebut sebagai sebab kesembuhan penyakit
salah satu anggota keluarganya. Maka dzohir dalil-dalil tersebut
menunjukkan bahwa niat-niat keduniaan seperti ini tidak mengurangi
kesempurnaan pahala ibadahnya. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam memotivasi untuk beribadah dengan ganjaran dunia yang
bisa mengurangi kesempurnaan pahala akhirat. Nabilah yang memotivasi
untuk memperpanjang umur dan lapangnya rizki dengan bersilaturahmi.
(3) Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia,
akan tetapi tidak ada nash/dalil khusus yang menjelaskan akan
kebolehannya. Contoh tidak ada dalil bahwasanya jika seseorang menjadi
imam masjid lantas akan dilapangkan rizkinya, atau seseorang yang
berdakwah akan ditambah rizkinya. Maka kondisi orang yang seperti ini
ada dua model:
* Perkara dunia yang menjadi tujuannya ternyata ia
tujukan untuk amalan akhirat. Contohnya seseorang yang menjadi imam
dengan niat untuk memperoleh upah imam, lantas ia niatkan upah tersebut
untuk menjalankan amal sholeh, seperti untuk berbakti kepada kedua
orangtuanya, atau agar bisa bersedekah pada fakir miskin, dsb. Maka
dzohirnya ia sama dengan model yang (1) di atas, yang memiliki tujuan
ganda tapi seluruhnya merupakan tujuan akhirat. Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, "Yang mustahab/disunnahkan adalah seseorang
mengambil (upah) untuk bisa berhaji, bukan berhaji untuk mengambil upah.
Hal ini berlaku bagi seluruh upah yang diambil dari amal sholeh. Barang
siapa yang mencari rizki (mengambil upah) agar bisa belajar atau agar
bisa mengajar atau untuk berjihad maka baik. Sebagaimana datang dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
مَثَلُ الَّذِيْنَ يَغْزُوْنَ مِنْ أُمَّتِي وَيَأْخُذُوْنَ أُجُوْرَهُمْ
مَثَلُ أُمِّ مُوْسَى تُرْضِعُ ابْنَهَا وَتَأْخُذُ أَجْرَهَا
"Permisalan orang-orang yang berperang (berjihad) dari umatku dan
mengambil upah mereka (gonimah dan lain-lain -pen) seperti ibunya nabi
Muasa yang menyusui anaknya lalu mengambil upahnya" (Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani)
Nabi menyamakan mereka (para mujahid) dengan seseorang yang melakukan
suatu pekerjaan karena suka dengan pekerjaan tersebut, sebagaimana
ibunya Musa yang menyusui Nabi Musa. Hal ini berbeda dengan wanita
penyusu sewaan… Adapun orang yang berbuat dalam bentuk amal sholeh agar
bisa memperoleh rizki maka ini termasuk amalan dunia.
فَفَرْقٌ بَيْنَ مَنْ يَكُوْنُ الدِّيْنُ مَقْصُوْدَهُ وَالدُّنْيَا
وَسِيْلَةً وَمَنْ تَكُوْنَ الدُّنْيَا مَقْصُوْدَهُ وَالدِّيْنُ
وَسِيْلَةً
Maka berbeda antara seseorang yang agama merupakan tujuannya dan dunia
hanyalah wasilah/perantara dengan seseorang yang dunia merupakan tujuan
sedangkan agama adalah wasilah/perantaranya. Orang yang seperti ini
dzohirnya ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat" (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 26/19-20)
* Perkara dunia yang menjadi tujuannya adalah tidak ia kaitkan
dengan tujuan akhirat. Seperti contohnya ia hanya ingin memperoleh upah
imam dalam rangka tujuan-tujuan duniawi murni, maka inilah yang
mengurangi kesempurnaan pahala akhirat dan ibadah yang ia lakukan.
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 25-10-1433 H / 12 September 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja