Sabtu, 21 Juli 2012

Qolbun Syakirun


Qolbun Syakirun

Jumat, 13 Juli 2012, 19:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum di manapun Anda berada,

Selamat bergabung dalam acara intermezzo at Tafakur iHAQi atau sekilas renungan (Integrated Human Quotient) bersama saya erickyusuf. Dengan tema “Qolbun syakirun.”

Bismilahirahmannirahiim,

Qolbun syakirun dapat diartikan dengan Hati yang selalu bersyukur. Secara pemahaman luas bisa kita artikan selalu menerima dengan rasa bersyukur apapun yg telah Allah SWT berikan kepada kita dengan ikhlas.

Ada baiknya sebelum berlanjut kita bahas terlebih dahulu makna & definisi qolbu. Hati dinamakan Qolbun karena cepat dan dahsyatnya mengalami pergolakan atau berbolak-balik dan senantiasa terombang-ambing. Dalam hal ini Rosul SAW bersabda ;

Innama summayal qolbu min taqolubihi, innama ma tsalu qolbi kama tsali risyatin mu’allaqoti fii ashli syajaroti yuqollabuhar-royhu thohron libthn "Sesungguhnya dinamakan qolbun karena gampang berbolak-balik. Sesungguhnya perumpamaan hati adalah seperti bulu yang tergantung di atas pohon yang dapat di bolak-balikkan hembusan air, ke kiri dan ke kanan". (HR. Ahmad: 4/408 dan dalam Shohih Jami': 2365).

Di dalam riwayat lain disebutkan: Ma tsalu qolbi kama tsali risyatin bil ardhi fulati yuqollabuhar-royhu thohron libathn "Perumpamaan hati seperti bulu yang ada di tanah lapang yang di bolak-balikan oleh angin, ke kiri maupun ke kanan". (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab Sunnah:227 dan isnadnya Shohih).

Sedangkan kata syukur terambil dari mashdar kata kerja syakaro – yasykuru- syukron. kata syakaro dapat diartikan ‘membuka’ sehingga ia merupakan lawan dari kata kafaro/kufur yang berarti ‘menutup’ atau ‘melupakan nikmat dan menutup-nutupinya’. Jadi, membuka atau menampakkan nikmat Allah SWT antara lain di dalam bentuk memberi sebahagian dari nikmat itu kepada orang lain, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat kikir.

Dari pengertian tersebut maka syakaro – yasykuru- syukron dapat juga diartikan mengandung makna antara lain pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Pertama, pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh, yakni merasa ridho dan puas sekalipun hanya sedikit.

Kedua, kepenuhan dan ketabahan, seperti pohon yang tumbuh subur. kata syukur mengisyaratkan, “Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit maka ia akan memperoleh sesuatu yang banyak, lebat, dan subur”. Al-Asfahani menyatakan bahwa kata syukur mengandung arti gambaran di dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.

Dan dalam konteks Qolbun syakirun, pribadi atau hati yang selalu bersyukur, maka kita perlulah memahami salahsatunya ayat "Qod 'aflahal mu'minun" : sesungguhnya beruntunglah org2 yg beriman (Al mu’minun 23;1). Mengapa beruntung?. Karena setiap peristiwa apapun itu yg ditimpakan oleh Allah terhadap hambanya yang beriman adalah sebuah keberuntungan bagi dirinya. Apapun bentuknya. Tetapi kuncinya tentu jika hambanya ikhlas. Ikhlas dalam artian memurnikan. Yaitu “muklisina lahud din”: memurnikan keta'atan kepadaNYA dalam melaksanakan perintah dan larangan Alloh SWT dalam kesehariannya.

Ilustrasinya jika dia ditimpakan kesenangan, org yg beriman akan ikhlas & bersyukur dengan memuji Alloh. Seraya berdoa serta membagikan ridzki atau kesenangan atau nikmatnya kepada hamba lainnya. "Wa ammal bi ni'mati Rabbika fahaddist" : dan terhadap nikmat Tuhan-MU, maka hendaklah kamu sebarkan. (Ad Dhuha : 11).
Karena itu Alloh pun akan menambah rezekinya bagi orang-orang yg bersyukur. Seperti dinyatakan dalam surah Ibrahim ayat 7 ; "Wa iz ta'azzana rabbukum la'in syakartum la'azi dannakum wa la'in kafartum inna 'azabi lasyadid" : dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatku), maka sesungguhnya azab KU sangatlah pedih."

Dan jika Alloh menimpakan musibah kpdnya, maka merekapun bersimpuh, berdoa memohon kepadaNYA agar musibah tersebut menjadi penghapus dosa2nya, serta menjadikan mereka hamba-hamba yang selalu mengingat Allah. Karena beruntunglah orang-orang yang selalu mengingat Alloh. "Qod 'aflahaman tazakka, wa dzakaros ma Rabbihi fa sholla":  "sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri(dengan beriman) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia Shalat atau berdoa." (Al 'Ala:14-15).
 
Dalam hadist dinyatakan bahwa : Rasullullah bersabda "janganlah kamu sekalian terlalu bersedih dan tetaplah berbuat kebaikan krn dlm setiap musibah yg menimpa seorg muslim terdapat penghapusan dosa bahkan bencana kecil yang menimpanya atau karena sebuah duri yang menusuknya." hadist yang diriwayatkan imam Muslim (shahih muslim no.4673)

Karena itulah beruntunglah setiap orang-orang yang mempunyai hati yang selalu bersyukur. Musibah sekecil apapun jika kita ikhlas menerimanya, InsyaAllah akan menjadi penghapus dosa-dosa kita. Kesedihan dan kesenangan adalah ujian, apapun yang kita alami didunia ini adalah ujian. Tinggal siapa dari kita yang ikhlas menghadapi semua ujian ini, dengan tetap beramal sholeh, berbuat kebaikan terhadap sesama dan selalu mengedepankan hati yang bersyukur.

"Alladzi kholaqol mauta wal hayyaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalla: yang menjadikan mati dan hidup, agar supaya DIA menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk ; 2)

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLOH adalah yang mengamalkannya.

Subhanakallohuma wabihamdika, asyahadu laillahaila anta, wa astagfiruka wa atubu ilaik.U

Billahi taufik wal hidayah,  Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)                                            
Twitter: @erickyusuf

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Dulu era sekitar 90’an, lagu “more than words” yang dinyanyikan grup band extreme sangat digandrungi anak-anak muda. Pada saat itu, kita butuh bukti bukan hanya janji.
Baik dalam kisah asmara, maupun dalam permasalahan lainnya. NATO (No Action Talk Only) atau istilah “omdo” alias omong doang, sudah mencuat dimana-mana karena memang pada realitanya kita tidak hanya membutuhkan lip service atau jejeteje (janji-janji tinggal janji). Sampai saat ini seakan-akan tema ini masih kontekstual mungkin malah lebih up to date.

Semangat “expresikan aksimu” dalam sebuah iklan di televisi seakan-akan mengubah kebiasaan omdo alias omong doang.

Memang seringkali petuah, wejangan, nasihat dan ajakan atau dakwah berhenti pada titik lisan. Para orangtua, orang yang dituakan, mpu, pemimpin, sampai dengan ustadz dan ulama berlomba-lomba dalam bicara, namun seringkali maaf agak “terpeleset”dalam amal perbuatan yang nyata.

Padahal keselarasan lisan dan amal sangatlah penting dalam Islam, sebagaimana ayat :“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff, 61 : 2-3) Oleh karena itu dalam era krisis kepercayaan saat ini, dakwah atau ajakan terasa baru menjangkau kepada orang  yang memang mencari atau dalam artian ingin “diajak”, belum menjangkau sampai taraf orang yang ogah mendengar bahkan membenci seruan kalimat-kalimat Allah dan RasulNYA.

Proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah dan sebagainya. Yang jelas, dakwah bil-halal atau nasihat perbuatan akan dapat mengubah sesuatu dengan nyata. Begitu pula dengan jiwa manusia. Memperbaikinya tidak cukup hanya dengan nasihat lisan saja, tapi harus diiringi dengan nasihat perbuatan. Jelasnya “actions, always speak louder than word”.

Dakwah ibarat pelita kehidupan, yang memberikan cahaya dan menerangi jalan kehidupan yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang benderang. Dakwah sangat penting sifatnya apalagi mengingat negeri kita yang akhir-akhir ini seringkali dilanda musibah, kegersangan spiritual, rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kolusi dan manipulasi, ketimpangan sosial, krisis kepercayaan terhadap hukum dan keadilan.  Jelas bahwa dakwah merupakan seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan  sempurna.

Dakwah perbuatan,lebih mudah diikuti dan dipahami dari pada seruan lisan, yang  terkadang cenderung menggurui, masuk keranah perdebatan, dan membuat orang tersinggung. Sebenarnya hakikat para juru dakwah, adalah dengan menancapkan tegaknya amal perbuatan, bukan bertumpu pada keindahan ucapannya. Menurut imam Syafi’I ; “Pemberi petunjuk adalah siapa yang dapat menasihati saudaranya dengan perbuatannya”.

Sebagaiman ayat, “Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran, 3 : 104). Mungkin seharusnya kita semua sebagai pemimpin, atau para pemimpin kita, mulai lebih mengutamakan amal perbuatan dari pada sekedar ucapan.

Dikarenakan kita memang membutuhkan pemimpin yang dapat diteladani. Pemimpin yang FAST (fathonah, amanah, sidiq dan tabligh) dalam artian mempunyai kemampuan (fathonah), terpercaya (amanah), jujur (siddiq), aktif dan aspiratif (tabligh)sesuai dengan sifat Rasulullah SAW, sebagai uswatun hasanah.
Dalam hadis disebutkan; "Allah akan utus pada umat ini (umat Muhammad) di awal setiap 100 tahun seorang yang membaharui urusan agama", hadis ini dapat diartikan dengan munculnya pemimpin besar yang mengingatkan kita agar kembali kepada pedoman Alquran dan Sunnah. Namun janganlah kita kemudian lengah, lalu ogah bahkan tidak berusaha merubah dari mulai diri kita sendiri. Karena semua dari kita adalah pemimpin.

Kerinduan terhadap kejujuran dan amal sholeh sebenarnya sudah sangat memuncak saat ini. Dengan demikian kita rindu seorang katakanlah tidak perlu pemimpin besar dengan taraf “istana” atau pun kelas “gedongan”.
Saat ini kita bahkan rindu terhadap pemimpin-pemimpin kecil, kelas “rumahan”, pemimpin yang langsung berinteraksi dengan masyarakat, yang ada dijalanan, yang  ada dipasar-pasar, yang ada dikantor-kantor, pemimpin yang dapatmembuat kita merasa masihlah negeri ini mempunyai harapan.
Harapan akan munculnya pemimpin besar yang akan memimpin bukan hanya system pemerintahan negeri tetapi pemimpin akhlak ummat, yang mampu membawa kita semua dari kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang. Dengan berpegang teguh kembali kepada pedoman Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karena itu para juru dakwah, barisan penyeru kebaikan yang mungkin akan melahirkan pemimpin-pemimpin berakhlak islam, sekaligus kita semua. Serulah dengan amal perbuatan kita, bukan dengan lisan kita. Sebagaimana ayat, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia mengujikamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk, 67 : 2)

Sekali lagi, Action its more speak louder than words. More than words.

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ustaz Erick Yusuf: pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)


Terbeseki = Tersedak

Jumat, 22 Juni 2012,REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum Wr Wb

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Ini bukan judul bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengapa? Begini awal ceritanya, teman saya Dani sprite atau Dani Jive, dulu ketika kita sedang makan, “kabesekan”(bahasa Sunda).

Bersama Almarhum Harry Roesli dan teman-teman lainnya, kita berupaya mencari apa kata “kabesekan” dalam bahasa Indonesia. Sulit sekali karena kita semua tidak pernah menyebutkan “kabesekan” dalam bahasa Indonesia. Akhirnya, karena saking penasarannya saya membuka Kamus bahasa Indonesia keesokan harinya dan kata yang saya cari adalah tersedak!

Berbicara masalah makanan menurut penelitian selain tidak boleh tergesa-gesa, jumlah kunyahannya pun setiap suapan sebaiknya 36 kali. Selain membantu meringankan kerja system pencernaan, yang menariknya lagi frekuensi pengunyahan yang banyak ini akan merangsang sinyal rasa kenyang dari susunan saraf pusat atau otak. Jadi, kita pun lebih mudah merasa kenyang dan tidak akan terlalu banyak dalam mengkonsumsi makanan.

Ya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa penyakit itu banyak bersumber dari makanan. Karena itu kita harus mengatur isi perut kita agar tidak seluruhnya terisi makanan. Seperti dinyatakan dalam sebuah hadis, “Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari perutnya, hendaknya Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya, jika tidak bisa tidak (terpaksa) maka makanlah sepertiga makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi)

Jika kita menela’ah lagi tentang makanan, dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”. (QS. ‘Abasa, 80 : 24)
Banyak sekali aspek yang dapat kita perhatikan dari makanan. Tapi mari kita mulai dari prosesnya, dari mana datangnya makanan itu di hadapan kita? Jika yang ada di hadapan kita Nasi, mari kita break down; jika kita makan di rumah berarti ada yang menanak nasi, sebelum itu pastilah berupa beras yang berarti ada yang menjualnya, sebelumnya ada yang memanen, menanam, kemudian tidaklah mungkin jika tidak ada air, berarti Allah harus menciptakan hujan, tidaklah mungkin jika tidak ada awan dan tidaklah mungkin jika tidak ada angin, angin terjadi karena dataran tinggi dan dataran rendah, belum faktor matahari tidaklah mungkin padi menguning jika tidak ada matahari, belum lagi faktor biji-bijian, faktor tanah, jika Allah tidak membelah tanah apa yang terjadi dan sebagainya-dan sebagainya. Prosesnya sangatlah rumit dan kompleks.

Subhanallah, Karena itulah sudah sepatutnya kita bersyukur jika ada makanan di hadapan kita, dengan proses yang begitu panjang sampai akhirnya makanan ada di hadapan kita dan seringkali kita lupa bersyukur kepada Allah, malahan mencela makanan dengan berbicara “wah ga enak gini makanannya”, atau “apaan nih”. Masya Allah padahal masalah ramuan terlalu asin atau bukan itu salah yang masaknya, kenapa makanannya yang dicela?

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., “Nabi Saw tidak pernah mencela setiap makanan (yang dihidangkan kepadanya), tetapi jika ia menyukainya akan dimakannya, sebaliknya jika tidak, Nabi Saw akan meninggalkannya (tanpa memperlihatkan ketidaksukaannya).”

Satu hal lagimakanan yang kita makan itu tidaklah akan masuk ke perut jika tidak ada gaya gravitasi bumi, artinya tatanan dan keteraturan langit yang menyebabkan gaya gravitasipun Allah atur hanya sekedar untuk kepentingan kita makan. Dan dalam (QS. Al Jaatsiyah, 45 : 13),  “Dan Dia telah menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari padaNYA. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Subhanallah. Bagi kaum yang “berfikir.” Atau tafakkarun artinya bertafakur. Mari kita tafakuri, dengan makanpun kita bisa berdzikir dalam artian menghadirkan Allah ke dalam benak, agar kita bisa bersyukur dan bertaqorub atau lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Karena itu tidaklah mengherankan jika kita akan makan hendaklah kita berdoa; “Ya Allah, berilah berkah dari rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka”.
Seorang teman bertanya apa hubungan makan dengan adzab neraka? maka dari padanya ayat “maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya” itu bisa juga dipahami dengan bagaimana manusia mendapatkan makanan tersebut, dengan cara seperti apa? Tangan kiri atau tangan kanan. Kemudian makanan apa yang dimakan, apakah yang termasuk “halaalan thoyyiban”, dan lain sebagainya.

Inilah kesempurnaan agama Islam, tata cara makananpun secara detail dari mulai hakikatnya, menanam hingga memanennya, adab & tata caranya, bentuk, rasa dan jenisnya, seluruhnya telah diatur rapih oleh Allah dan RasulNYA. Inilah “diin” atau tata cara kita melakukan keseharian kita secara selamat sekaligus berserah diri kepada aturan Allah SWT, karena hanya berserah diri kepada Allahlah kita bisa selamat.

Selamat makan, selamat berdzikir, dan selamat bersyukur, hati-hati kabesekan, alias terbeseki alias tersedak!

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)       
Twitter: @erickyusuf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar