Sabtu, 09 Juni 2012

Inilah Nilai-Nilai Shalat


Inilah Nilai-Nilai Shalat

Minggu, 03 Juni 2012, 08:45 WIBREPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nur Suharno

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin.

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Di antara nilai-nilai shalat itu adalah pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama.

Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi. 

Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi). 

Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan.

Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memedulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya.

Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya.

Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim maka tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud. 

Redaktur: Heri RuslanOptimalisasi Kesabaran

Monday, 04 June 2012, 15:20 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr H Dindin Jamaluddin MAg

Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanan. Salah satunya adalah dengan memelihara dan mengoptimalkan kesabaran. Dalam Alquran, Allah menegaskan, kesabaran akan senantiasa menolong dan menjadi solusi atas berbagai persoalan. Bahkan, Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal [8]: 66).

Ayat di atas mengindikasikan bagaimana kesabaran harus dimaknai sebagai sebuah proses aktif menanggulangi permasalahan yang menimpa. Dalam perspektif Islam, musibah diinisiasi oleh dua hal.

Pertama, musibah muncul akibat kesalahan manusia pada Allah. Musibah seperti ini dimaknai sebagai teguran Allah. Kedua, musibah lahir karena kita tengah menghadapi ujian. Tujuannya, untuk menaikkan derajat keimanan. Kesabaran yang ditopang oleh semangat keimanan, niscaya akan mampu meminimalkan tindakan destruktif.  

Hazrat Inayat Khan mengatakan, kenikmatan dan kenyamanan hidup dapat menghalangi munculnya inspirasi dan ilham. Sebaliknya, rintangan dan cobaan (musibah) justru dapat membantu setiap orang memunculkan solusi.

Pun begitu dengan cobaan yang kita hadapi saat ini. Baik itu soal kemiskinan, merebaknya kasus korupsi, hingga bencana kemanusiaan. Ketika semua itu menimpa kita, penting dihadapi dengan kesabaran. Makna kesabaran, tidak hanya pasrah sumerah pada keadaan atau menerima kondisi apa adanya, tetapi dengan kesabaran itu kita berupaya menghidupkan semangat untuk keluar dari keadaan yang sedang menghimpit. 

Dalam surah al-Anfal [8] ayat 66, Allah SWT menginformasikan bahwa di dalam kesabaran terkandung kekuatan transformatif bila kita lapang dada menyikapi kehidupan yang terjadi.

Bagi orang-orang yang sabar, ketika bencana kekeringan dan gempa menimpa, misalnya, dia tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan tanpa melakukan usaha keluar dari musibah tersebut. Ketika kekurangan harta menjadi persoalan signifikan bagi pendidikan anaknya, hal itu tidak lantas mematikan semangat dirinya untuk terus berusaha. 
Kekuatan usaha inilah yang menjadi sumber dasar dari Islam. Term usaha lebih dekat dengan konsep “amaliyah” dalam Islam, yang menyatukan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang tecermin dalam perbuatan.

Bagi seorang Muslim sejati, musibah dipahami sebagai ujian yang wajib dilalui untuk mengokohkan keimanan pada-Nya. Kerangka paradigmatik ubûdiyah digunakan untuk melewati cobaan Ilahi. (QS al-Ankabut [29]: 2). 

Tonggak awal perubahan hidup diawali dari seberapa piawai kita keluar dari impitan masalah, sehingga menerpanya menjadi individu taat, takwa, sabar, dan tawakkal. Dengan hal inilah umat akan lebih bijaksana menyikapi aneka musibah yang seolah tak pernah berhenti menguji keimanan. 

Merintih, meratap, dan terus larut dalam kekesalan tanpa berusaha bukanlah hakikat kesabaran. Al-shabru, ialah sebuah kerangka ketabahan jiwa yang menyertakan optimalisasi perbuatan aktif, sehingga terjadi perubahan hidupnya.Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar