Pengorbanan Cinta
Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu
Diposting oleh zafaran pada 5 February 2012
To ida For understanding of now
Muslimahzone.com – Alangkah bahagianya bila kita dapat menikahi seseorang yang
kita cintai. Namun, bagaimana bila seseorang yang kita cintai pada takdir yang
ditetapkan-Nya harus menikah dengan orang lain atau bahkan sahabat kita
sendiri. Hal ini bukan cerita dongeng, pengorbanan demikian pernah dialami oleh
salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia adalah Salman
Al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Cintanya harus dikorbankan untuk saudaranya yang
ia cintai karena Allah.
***
Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan
dari Persia, sebagai seorang Persia ia menganut agama Majusi, tapi ia tidak
merasa nyaman dengan agamanya. Kemudian ia mengalami pergolakan batin untuk
mencari agama yang dapat menentramkan hatinya. Pencarian agamanya membawa hingga
ke jazirah Arab dan akhirnya memeluk agama Islam.
Ia menjadi pahlawan dengan ide membuat parit dalam upaya
melindungi kota Madinah dalam pertempuran khandaq. Setelah meninggalnya Nabi
Muhammad, ia dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga ia
wafat. Salman termasuk sahabat nabi yang dekat bahkan ada sebuah riwayat
Rasulullah saw menyatakan, “Salman termasuk keluraga bagi kami.”
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita
Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah
mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai
sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan
pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah
tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki
adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir,
melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi
seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah
berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu
kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’
mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan
dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru
tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman
seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah
memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di
sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau
menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini
melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam
logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda
berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini
sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah
hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu.
Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua
yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami
menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan
yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus
indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu
mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan;
reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan
bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah
dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun
atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang
kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!” teman baik ku dunia akhirat. Dan aku akan menjadi saksi
pernikahan bersejarah kalian!” air mata kasih dan syukur membening suasana
redup di suatu petang itu.
Subhanallah..sebuah pengorbanan cinta yang agung dan menharukan.
Begitulah apabila cinta didasarkan pada cinta karena Allah. Sakit.. akan
menjadi Indah..karena Allah.
ref: dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah
(zafaran/muslimahzone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar