KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberi Rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh
umat. Dengan ijin-Nya pula,
makalah yang kami susun
dalam rangka untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Seminar Aktual Masalah-masalah
Pendidikan,
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara
kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Namun sayangnya, perkembangan
pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang
sepadan. Akibatnya muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah : a) ketimpangan kualitas
output pendidikan yang tidak memiliki karakter dan nilai-nilai moralitas lulusan,
b) ketimpangan pendidikan yang cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial, c)
sistem pendidikan yang hanya mentransfer kepada peserta didik, yakni
pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah
diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai problem
yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan kualitas pendidikan merupakan
refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap
upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sis-sia, kecuali menyentuh akar
filosofis, teori pendidikan dan falsafah pendidikan yang dikembalikan pada
nilai-nilai teologis, teleologis, logis, etika, estetika dan fisik/fisiologis.
Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan
secara mendasar serta berkesinambungan.
Penyusun menyadari
dalam penyajian makalah ini masih ada kekurangan, perbaikan yang konstruksif
tentunya menjadi harapan penyusun sebagai masukan.
Akhirnya penulis
ucapkan terima kasih kepada Yth Prof.DR H.Jusuf A.Feisal,S.Pd. dan Dr Dani
Rahmadani,M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Seminar Aktual Masalah-masalah
Pendidikan yang telah memberikan arahan , bimbingan dan juga semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT selalu meridoi
setiap niat baik kita semua. Amiin.
Bandung, ,
Mei 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
………………………….
DAFTAR ISI …………………………………..
BAB I PENDAHULUAN ………………………
A.
Latar Belakang …………………….
B.
Pembatasan Masalah ……………….
C.
Tujuan Penulisan …………………..
BAB
II PEMBAHASAN ………………………
1.
Masalah-masalah pendidikan yang
ada di Amerika dan Indonesia.Dan pendapat Berliner tentang Reformasi
Pendidikan…
2.
Sistem manajemen yang diusulkan
untuk diterapkan di Indonesia, mengingat pemberlakuan Otonomi Daerah …
3.
Jelaskan secara Rinci mengenai
School Based Management mulai dari konsep teoritis sampai kepada definisi
operasioonal dan pengaplikasiannya di lapangan …
4.
Apa yang dimaksud dengan Evaluasi
Krittis? Jelaskan secara rinci cara dan kegnaannya bagi perbaikan mutu
pendidikan …
5.
Ada beberapa makalah dari
internet yang telah kita bahas, menurut anda makalah yang mana yang menarik
dari luar tesis Berliner dan Evaluasi Kritis? Ceritakan isinya dengan jelas …
6.
Apa pengaruh Globalisasi dan
Industrialisasi (seperti Pasar Bebas) terhadap pendidikan? Ceritakan terlebih
dahulu dampak kedua tersebut terhadap keadaan di Indonesia …
7.
Menurut anda konstribusi seperti
apakah yang bias diharapkan dari system pendidikan Islam terhadap system
pendidikan Nasional …
8.
Bagaimanakah kemungkinan model
pendidikan Nasional baru yang merupakan pembaharuan dari model pendidikan
nasional lama yang digabungkan dengan Pendidikan Islam?...
9.
Dalam prakteknya (pada tataran
definisi operasional) bagaimanakah kita menjabarkan konsep pendidikan yang
tertuang dalam USPN yang isinya kurang lebih mengintegrasikan IMTAQ dan IPTEK
termasuk ke dalamnya pendidikan karakter. Coba hubungkan masalah ini dengan
yang disebut Hidden Curriculum…
10.
Bagaimanakah Reformasi Pendidikan
yang diharapkan di masa depan dilihat dari segi ontologisnya (body of knowledge), epistimologinya (metoda), dan
aksiologisnya (nilai kegunaannya). Kemudian juga jelaskan isi kurikulumnya
termasuk yang tertuang dalam komponen tujuan, metoda, materi dan evaluasinya
…
BAB III KESIMPULAN
……………………
DAFTAR PUSTAKA
………………………
|
ii
1
1
2
3
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan
pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan
harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh
lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan
bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa
dan bukannya perpecahan. Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan
mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat
fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang
ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan
masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga
pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2)
learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut
untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk
menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani
kehidupan bersama)
Namun
kenyataan yang menjadi sorotan dalam dunia pendidikan saat ini adalah bahwa
generasi muda saat ini cenderung mudah emosi dan lebih mengutamakan otot
daripada akal pikiran. Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme
yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam
bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak
dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik
dalam negri maupun luar negri.
Mengingat
hal-hal tersebut maka tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan
pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap,
kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya.
Mengenai
kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah
antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi
masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi
pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis
pendidikan. Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian
pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Berbagai pihak harus saling
mendukung dan bahu membahu bekerjasama dalam upaya mengangkat kembali dan
memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Reformasi
pemerintah yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran
penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang ditandai
dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah, untuk lebih
memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam
mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Hal ini
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, berkeadilan dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah.
Hal yang lebih esensial dari otonomi adalah semakin besarnya tanggung jawab
daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup didalam
pembangunan masyarakat di daerah, termasuk bidang pendidikan.
Seperti
Islam mengajarkan manusia untuk berubah atau hijrah dari bodoh menjadi pandai,
sehingga Allah mewajibkan manusia untuk mencari ilmu. Sebagaimana disebutkan
dalam Al Qur’an Surat Ar Rad ayat 11 bahwa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri”. Jadi Allah SWT mengajarkan kepada kita semua untuk selalu berusaha
untuk belajar merubah pola pikir kearah yang lebih baik, sehingga mampu
mengembangkan pendidikan.
B. Pembatasan Masalah
Masalah-masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini, penulis batasi sebagai berikut:
1.
Masalah-masalah pendidikan yang ada di
Amerika dan Indonesia.Dan pendapat Berliner tentang Reformasi Pendidikan
2.
Sistem manajemen yang diusulkan untuk
diterapkan di Indonesia, mengingat pemberlakuan Otonomi Daerah.
3.
Jelaskan secara Rinci mengenai School
Based Management mulai dari konsep teoritis sampai kepada definisi operasioonal
dan pengaplikasiannya di lapangan
4.
Apa yang dimaksud dengan Evaluasi
Kritis? Jelaskan secara rinci cara dan kegunaannya bagi perbaikan mutu
pendidikan
5.
Ada beberapa makalah dari internet yang
telah kita bahas, menurut anda makalah yang mana yang menarik dari luar tesis
Berliner dan Evaluasi Kritis? Ceritakan isinya dengan jelas
6.
Apa pengaruh Globalisasi dan
Industrialisasi (seperti Pasar Bebas) terhadap pendidikan? Ceritakan terlebih
dahulu dampak kedua tersebut terhadap keadaan di Indonesia
7.
Menurut anda konstribusi seperti apakah
yang bias diharapkan dari system pendidikan Islam terhadap system pendidikan
Nasional
8.
Bagaimanakah kemungkinan model
pendidikan Nasional baru yang merupakan pembaharuan dari model pendidikan
nasional lama yang digabungkan dengan Pendidikan Islam?
9.
Dalam prakteknya (pada tataran definisi
operasional) bagaimanakah kita menjabarkan konsep pendidikan yang tertuang
dalam USPN yang isinya kurang lebih mengintegrasikan IMTAQ dan IPTEK termasuk
ke dalamnya pendidikan karakter. Coba hubungkan masalah ini dengan yang disebut
Hidden Curriculum?
10.
Bagaimanakah Reformasi Pendidikan yang
diharapkan di masa depan dilihat dari segi ontologisnya (body of knowledge), epistimologinya (metoda), dan
aksiologisnya (nilai kegunaannya). Kemudian juga jelaskan isi kurikulumnya
termasuk yang tertuang dalam komponen tujuan, metoda, materi dan evaluasinya
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan ini yaitu: untuk mengetahui dan memahami
tentang: masalah-masalh pendidikan di Amerika dan Indonesia, Sistem manajemen
otonomi daerah, MBS, Evaluasi Kritis, Makalah yang menarik dari Internet,
Pengaruh globalisasi dan industrialisasi terhadap pendidikan, konstribusi
pendidikan Islam terhadap system pendidikan Nasional, model pendidikan nasional
lama digabungkan dengan pendidikan Islam, Mengintegrasikan IMTAQ dan IPTEK dihubungkan
dengan Hidden curriculum, dan Reformasi pendidikan yyang diharpkan di lihat
dari segi ontologism, epistimologi dan aksiologis.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam
bahasan makalah ini, kami mencoba mengungkap beberapa aspek yang akan kami uraikan sebagai berikut
:
1.
Masalah-masalah
pendidikan yang ada di Amerika dan di Indonesia, dan Pendapat Berliner tentang
Reformasi Pendidikan.
a.
Masalah-masalah
pendidikan di Amerika
“Sistem pendidikan Amerika sedang mengalami krisis“, hasil kesimpulan
yang dari laporan terkini Universitas Chicago, Amerika Serikat. Menurut laporan
yang terangkum dari data di tahun 2007, hampir 6.2 juta siswa di Amerika yang
berusia 16-24 tahun di drop out dari sekolah. Laporan UNICEF juga menyatakan
bahwa peringkat kelulusan siswa-siswi Amerika mengalami penurunan drastis,
menempati posisi tiga terbawah diantara negara-negara maju lainnya. Hasil
tes skala internasional yang diadakan oleh OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) di tahun 2009 menempatkan Amerika di
peringkat ke-32 dari 65 negara peserta, jauh tertinggal dibandingkan Korea
Selatan, Kanada, dan Belanda. Tingginya angka drop out siswa juga
dipengaruhi oleh penurunan kualitas pendidikan di Amerika yang terjadi dalam
beberapa dekade terakhir.
Amerika menginvestasikan dana yang tidak sedikit untuk pendidikannya,
lebih dari US$ 9,000 (sekitar Rp. 80 juta) untuk setiap anak setiap tahunnya.
Akan tetapi, kesuksesan di implementasi sistem pendidikan bukanlah
ditentukan dari dana yang diinvestasikan saja. Kualitas tenaga pengajar adalah
salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan peserta didik. ” Guru
yang berkualitas itu mengajar bak sulap di kelas“, disampaikan oleh Craig
Barrett, chairman perusahaan chip komputer Intel kepada BBC yang
turut prihatin atas menurunnya kualitas guru-guru di Amerika saat ini.
Alokasi dana pendidikan yang kurang tepat disebut-sebut sebagai
penyebab penurunan kualitas pendidikan Amerika. Pemerintah kurang memperhatikan
alokasi dana untuk peningkatan kualitas tenaga pengajar.Para guru tidak
mendapatkan cukup tunjangan dan penyuluhan untuk meningkatkan teaching
skills mereka. Pemerintah juga dikritik akan kurangnya perhatian pada
aspek gaji tenaga pengajar yang sepadan. Sehingga, kualitas guru-guru di
Amerika telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Krisis ekonomi yang dialami Amerika telah berdampak pada
pendistribusian dana pendidikan yang tidak merata di daerah negara-negara
bagian. Negara bagian yang kurang makmur, seperti California mengalami
kesulitan untuk membayar tenaga pengajar berkualitas. Sedangkan, di negara
bagian yang lebih makmur, tenaga pengajar berkualitas lebih mudah didapat
dengan bantuan donasi dan subsidi dari orang tua siswa. Akibatnya, siswa-siswi
di negara bagian yang lebih miskin tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang
baik karena rendahnya kualitas tenaga pengajar yang digunakan. Dalam skala
nasional, hal ini membuat grafik kelulusan siswa di Amerika merosot tajam.
Amerika sendiri menginvestasikan dananya lebih banyak ke arah
penggunaan teknologi sebagai sarana penunjang pembelajaran. Ruang kelas
dilengkapi dengan monitor layar lebar dan media presentasi belajar-mengajar
yang canggih. Namun, “Komputer dan teknologi tidak bisa menggantikan guru,
mereka hanyalah alat“, sekali lagi ungkap Barrett. Amerika perlu lebih
memfokuskan alokasi dananya ke arah peningkatan kualitas tenaga pengajar untuk
memperbaiki kualitas pendidikannya.
b.
Masalah-masalah
pendidikan di Indonesia
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh.
Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki
daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama
Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi
dari 53 negara di dunia.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius
dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan
di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal
itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan
sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih
menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan
khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
1
Rendahnya Kualitas Sarana
Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak
layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat
pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari
sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma
D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru
38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah
menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di
tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan
S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya.
3
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji
bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per
bulan sebesar Rp 1,8 juta. guru bantu Rp, 560 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 15 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel.
4
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat
terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. .
c. Reformasi
Pendidikan Menurut Berliner
David C. Berliner dari Arizona State University mengatakan bahwa reformasi
pendidikan yang didasarkan pada data yang masih dipertentangkan keabsahannya
bisa salah arah dan juga bisa merusak kualitas pendidikan. Sekolah yang didasarkan pada
asumsi-asumsi yang tidak sahih akan salah arah. Beberapa usaha pembaharuan
menyembunyikan usaha para elit untuk mempertahankan hak-hak istimewa mereka
yang ada di dalam diri anak-anak mereka. Reformasi yang mereka tawarkan tidak
akan lebih baik dari pendidikan yang sekarang sedang berlangsung. Bahkan
reformasi yang didasarkan pada asumsi yang lemah dan asumsi kegagalan sistem sekolah di Amerika
akan memperlebar jarak antara sekolah bergolongan “the have” dan “the
have not”.
Selanjutnya penulis mengatakan bahwa
ia mencurigai adanya informasi yang salah yang dikembangkan oleh para pegawai
pemerintah tentang sistem pendidikan di Jepang. Mereka mengatakan bahwa
pendidikan di Jepang sangat berhasil. Chester Finn, anggota studi tour ke
Jepang, menunjukkan bahwa rata-rata
siswa dapat belajar dengan baik (Washington Post, 1985).
Sebaliknya penulis justeru sangat
tidak setuju sistem sekolah yang
mengijinkan guru untuk melakukan kekerasan pada siswanya, atau membiarkan siswa
melakukan kekerasan pada siswa lainnya. Hal tersebut tidak boleh terjadi di
Amerika.
Selanjutnya penulis mengatakan bahwa
ia setuju dengan ide perbaikan dalam pendidikan, tetapi reformasi pendidikan
harus didasarkan pada fakta-fakta yang benar tentang pendidikan dan juga input
dari pada praktisinya. Reformasi yang diusulkan oleh para politisi dan para
pelaku bisnis yang didasarkan bukti-bukti yang kurang dapat dipercaya atau pada
cerita-cerita pengalaman yang tidak kredibel sebaiknya tidak dilakukan. Ia
prihatin seandainya banyak cerita yang tidak masuk akal tentang kejayaan
pendidikan Jepang digembor-gemborkan dan ditulis di media Amerika, maka mungkin juga terjadi
penyebaran informasi yang salah tentang pendidikan di Amerika. Oleh karena itu
ia mengajak pembaca untuk bersama-sama memeriksa kesahihan dari berbagai kritik
yang ditujukan pada sistem pendidikan Amerika.
Ia mengatakan bahwa sebagian kritik
mungkin benar dan sebagian lainnya mungkin salah. Bahkan ia mengatakan bahwa
mungkin orang Amerika berbohong, karena ketika terjadi tragedi ekonomi dan
sosial di dalam masyarakat, maka para pemimpin negara perlu mencari kambing
hitamnya. Dan kebetulan sistem pendidikan adalah sasaran yang empuk untuk
dijadikan kambing hitam. Adapun klaim-klaim yang ditujukan pada sistem
pendidikan di Amerika sebenarnya tidak terbukti (tesis Educational Reform in an Era of Disinformation,David C. Berliner, Arizona State University)
2.
Sistem
manajemen yang diusulkan untuk diterapkan di Indonesia, mengingat pemberlakuan
Otonomi Daerah
Kebijakan Otda
memang merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintahan dan
pembangunan secara menyeluruh, tetapi pendidikan
adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di dalamnya.
Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, adalah
salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah sehingga kebijakan
Otda tidak hanya menjadi titik
tolak reformasi bidang sosial dan politik, tetapi juga menjadi titik tolak
reformasi sistem pendidikan
nasional.
Adapun manajemen yang perlu kita gunakan dapat diwujudkan
melalui undang-undang No. 32 Tahun 2004, dimana
undang-undang ini menganut paham pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan
dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis
yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk
menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
(Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3), sedangkan yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.
Dengan demikian, maka titik tekanan pada undang-undang No.22 Tahun 1999 adalah
pada kewenangan dan dengan kewenangan itu daerah menentukan apa-apa yang akan
menjadi isi dari kewenangannya.
Pola ini merangsang kreatifitas dan prakarsa daerah menggali
berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, kalau titik penekanannya
pada pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada
penyerahan dari pemerintah. Artinya kewenangan daerah bertambah hanya jika ada
penyerahan urusan. undang-undang No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini
menganut paham pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan dengan pembagian
urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis yang diartikan
dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau
mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Peraturan
Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3), sedangkan yang dimaksud
dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.
3.
School
Based Management mulai dari konsep teoritis sampai kepada definisi operasioonal
dan pengaplikasiannya di lapangan (MBS)
a. Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) atau dalam terminologi bahasa Inggris lazim disebut “School Based
Management” adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang
ditetpkan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Dalam hubungannya
dengan model MBS, keberadaan dewan Sekolah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan MBS. Dengan demikian keberadaan Dewan Sekolah merupakan
suatu kepatutan yang perlu ada dalam MBS, karena MBS tanpa Dewan sekolah bukan
MBS. Secara substantif peran dan fungsi kelembagaan sebagai penampung dana
partisipasi masyarakat masih relevan untuk dilanjutkan. Dalam rangka MBS fungsi
tersebut dilaksanakan oleh Dewan Dekolah
b. Tujuan
Manajemen Berbasis Sekolah
Implementasi Manajemen
Berbasis sekolah memiliki tujuan sebagai berikut :
i.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
ii.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melelui pengambilan keputusan bersama;
iii.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, sekolah dan pementah tentang mutu sekolah;
iv.
Meningkatkan kompetisi yang sehat
antar-sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
c. Manfaat
Manajemen Berbasis Sekolah
Secara umum manfaat
yang bisa diraih dalam melaksanakan MBS antara lain sebagai berikut :
i.
Sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya
yang tersedia untuk memajukan sekolahnya, karena bias lebih mengetahui peta
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi;
ii.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan
lembaganya, khususnya input dan output pendidikan yang akan dikembangkan dan
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan peserta didik
iii.
Pengambilan keputusan partisipatif yang
dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah lebih tahu apa yang
terbaik bagi sekolahnya;
iv.
Penggunaan sumber daya pendidikan lebih
efesien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi
v.
Keterlibatan warga sekolah dalam
pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat
vi.
Sekolah bertanggung jawab tentang mutu
pendidikan di sekolahnya kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan
masyarakat
vii.
Sekolah dapat bersaing dengan sehat
untuk meningkatkan mutu pendidikan
viii.
Sekolah dapat merespon aspirasi
masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang cepat dan tepat.
d. Prinsip
Umum Manajemen Berbasis Sekolah
Ada 6 (enam) prinsip
umum yang patut menjadi pedoman dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah,
yaitu :
i.
Memiliki visi, misi, dan strategi kea
rah pencapaian mutu pendidikan, khususnya mutu siswa sesuai dengan jenjang
sekolah masing-masing.
ii.
Berpijak pada “power sharing” (berbagi
kewenangan), yaitu bahwa pengelolaan pendidikan sepatutnya berdasarkan pada
keinginan saling mengisi, saling membantu dan menerima dan berbagi
kekuasaan/kewenangan sesuai dengan fungsi.
iii.
Adanya profesionalisme semua bidang.
Maksudnya bahwa implementasi MBS menuntut adanya derajat profesionalisme
berbagai komponen, baik para praktisi pendidikan, pengelola, dan manager
pendidikan lainnya, termasuk profesionalisme Dewan sekolah.
iv.
Melibatkan partisifasi masyarakat yang
kuat. Maksudnya bahwa tanggung jawab pelaksanaan pendidikan, bukan hanya
dibebankan kepada sekolah (guru dan kepala sekolah saja), tetapi juga menuntut
adanya keterlibatan dan tanggung jawab semua komponen lapisan masyarakat,
termasuk orang tua siswa.
v.
Menuju kepada terbentuknya Dewan
Sekolah. Artinya, dalam implementasi MBS, idealnya setiap sekolah harus
membentuk Dewan Sekolah (DS), sebagai instritusi yang akan melaksanakan MBS.
Dengan demikian pembentukan Dewan Sekolah merupakan prasyarat implementasi MBS.
Pembentukan Dewan Sekolah it, sebaiknya juga diikuti dengan langkah-langkah
nyata, yaitu mengidentifikasi tujuan, manfaat, perencanaan dan pelaksanaan
program, serta aspek yang berkaitan dengan Dewan Sekolah sebagai institusi
penopang keberhasilan dan misi sekolah.
vi.
Adanya partisifasi dan akuntabilitas.
Yaitu memiliki makna bahwa prinsip MBS harus berpijak pada transparansi atau
keterbukaan dalam pengelolaan sekolah, termasuk di dalamnya masalah fisik dan
nonfisik. Sedangkan akuntabilitas (tanggungjawab) memberi makna bahwa sekolah
beserta Dewan sekolah merupakan institusi terdepan yang paling bertanggungjawab
dalam pengelolaan sekolah.
4.
Yang
dimaksud dengan Evaluasi Kritis? cara
dan kegunaannya bagi perbaikan mutu pendidikan”
Arti
“Evaluasi kritis” dalam pendidikan menurut House (1976, 1980) itu melibatkan
praktek dalam melengkapi karya empirik, historis, publik, dan sosial dengan
menggunakan teori-teori keadilan yang memerlukan komitmen serius, persisten,
berani, sadar, dan keyakinan untuk menata dan mengubah kembali
lingkungan-lingkungan pendidikan. Yaitu menyatakan bahwa institusi-institusi pendidikan yang
lebih tinggi harus dilihat dalam kaitan moral dan politis secara mendalam dimana para evaluator, dalam hal ini
sesungguhnya para intelektual, menyatakan dirinya tidak saja sebagai
profesional bidang akademis tetapi sebagai warga negara yang pengetahuan dan
tindakan-tindakannya didasari visi-visi spesifik tentang kehidupan publik,
masyarakat, dan tanggung jawab moral (Giroux, 1997).
Sebab sekolah tidak bisa
dipisahkan dari masyarakatnya, sekolah melayani kepentingan-kepentingan sosial,
ekonomi, maupun kepentingan budaya. Untuk memahami pendidikan publik dengan
lebih baik, hubungan-hubungan sosio-kultural, politis, dan hubungan hirarkis
yang terjadi di sekolah maupun dalam masyarakat, harus dikaitkan pada isu-isu
politik dan ekonomi yang lebih luas (Ogbu, & Matute-Bianchi, dalam press).
Untuk memulai menyadari reformasi pendidikan umum, dan untuk memulai perjuangan
keadilan sosial dalam pendidikan, terutama untuk anak yang dirugikan,
pertama-tama kita harus memeriksa kembali sejarah awal mula masalah-masalah
pendidikan dan masyarakatnya di mana sekolah tersebut berada (Noll, 1997).
Dasar teori evaluasi kritis:
A.
Teori Politik
Teori
politik evaluasi kritis dapat didefinisikan sebagai etika sosial dan
profesional atas suatu evaluasi, dan konsekuensi moral maupun politis dari
etika tersebut yang dapat merekonstruksi dan mempertimbangkan kembali
keterkaitan kekuasaan dalam pendidikan akademis dan pendidikan publik.
B.
Ideologi Teori
Kritis dan Psikologi Sosialnya
Ideologi dan psikologi teori kritis tidak
didasarkan pada metoda ilmiah semata yang lepas dari “subjektivitas” si
peneliti atau pengaruh konteks sosial di mana peneliti bekerja. Psikologi
sosial kritis diambil dari teori kritis mahzab Frankfurt dan tradisi teori
Marxisme (Wexler, 1983). Wexler mengatakan bahwa orang yang menggunakan
evaluasi dalam pendidikan harus memperluas dan memperkuat pandangan mereka
tentang aplikasi dan fungsi evaluasi dalam pendidikan yang berorientasi pada
masa depan. Seperti psikologi sosial kritis,
teori yang bisa memahami dan mengakomodir perubahan-perubahan sosial.
Kegunaannya adalah Integration of Critical
Evaluation into a Changing Society
(Pengintegrasian
Evaluasi Kritis Ke dalam Masyarakat yang Berubah)
Secara general evaluasi berasal dari dasar
teori berbagai bidang ilmu dan ia bersifat multi disiplin dan multi faset
(Chelimsky & Shadish, 1997). Oleh karena itu maka ia menimbulkan masalah bagaimana
mengintegrasikannya ke dalam masyarakat yang terus berubah. Lee Cronbach (1981)
mengatakan bahwa teori evaluasi harus sama dengan teori interaksi politik
sebagai teori untuk menentukan fakta atau bagaimana pengetahuan dikonstruksi.
Tetapi setelah 18 tahun, kita tetap tidak mengerti proses politik dengan baik,
terutama sifatnya yang dinamis. Selanjutnya melihat kompleksitas permasalahan
evaluasi dalam pendidikan, Dewey mengatakan, “kalau begitu pendidikan menjadi
proses aktif dan konstruktif dari perkembangan kritis yang berkesinambungan”
(Dewey, 1944).
Caranya dapat dilakukan dengan Freirean Pedagogy
(Pengajaran Model Freirean)
Ide utama Paolo Freire adalah bahwa
manusia dilihat sebagai manusia dalam proses untuk berkembang. Ia mengatakan
bahwa karakter spesies manusia adalah dalam kapasitasnya untuk memperbaiki
sesuatu yang sudah ditentukan (Hamnet et al., 1984).
Ide ini berarti bahwa tidak ada
seorangpun yang dapat menolong atau membantu orang lain tanpa partisipasi
mereka; bahkan si penolong cenderung untuk memperlakukan orang lain sebagai
objek yang mudah dikendalikan atau dimanipulir dari luar (Freire, 1973).
Evaluasi kritis diperlukan untuk tujuan, metoda dan fungsi dari evaluasi akan
berubah jika seseorang mengikuti filosopi dan ideologi yang mendasari teori
kritis, psikologi sosial kritis, dan pedagogi Freire. Evaluator yang kritis
bergerak melampaui pertimbangan-pertimbangan metoda tradisional dalam mendesain
kebijakan dan prakteknya untuk menetapkan dengan sengaja isu-isu yang mungkin
kurang menyenangkan seperti, kekuasaan yang dilembagakan, demokrasi, perbedaan
dalam pendidikan? Keberanian, kegigihan dan keyakinan adalah tiga elemen yang
penting yang akan diperlukan secara konsisten dalam mereformasi pendidikan.
5.
Makalah
beberapa makalah dari internet yang telah kita bahas, makalah yang mana yang
menarik dari luar tesis Berliner dan Evaluasi Kritis Levin
Tesis berjudul Centralized Goal Formation and
Systemic Reform, Reflektion on Liberti, Localism and Pluralism, yang ditulis
oleh Kenneth
A. Strike dari Cornell University mempertanyakan apakah ada
alasan-alasan logis yang berhubungan dengan kebebasan (liberty) yang ditimbulkan oleh reformasi sistemik yang
didasarkan pada standar tertentu (standards
driven systemic reform).
Pada bagian pertama tesis tersebut
dibahas tentang tiga jenis pertimbangan yang berkaitan dengan reformasi
sistemik yang didasarkan pada standar tertentu , yaitu:
- Minat siswa terhadap otonomi dan otentisitas,
- Kebebasan akademik, dan
- Pluralisme.
Sedangkan
pada bagian kedua menggali dua cara dalam membuat konsep yang seimbang antara
“kebebasan” dengan berbagai macam kepentingan publik :
a. Ekonomi klasik baru (neo-clasical economic) dan
b. Pemikiran konservatif
kontemporer.
Melalui tesisnya Kenneth
A. Strike menarik dua kesimpulan utama
tentang refomasi sistemik yang distandarisasi, yaitu:
a. Gambaran dari
reformasi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius tentang kebebasan. Karena mungkin kebebasan
tersebut tidak sesuai dengan kepentingan siswa.
b. Usaha sektor publik
dalam menangkal kompetisi yang berorientasi pada pasar, melalui
penekanan pada hal-hal politis, seperti kewarganegaraan.
Kenneth A Strike berpendapat bahwa agar hal ini dapat dilakukan, maka perlu
dicari cara-cara untuk menyeimbangkan tuntutan dari pusat dengan sistem
pendidikan yang berdasarkan pertimbangan persamaan demokrasi lokal dan
keinginan masyarakat.
6.
Pengaruh
Globalisasi dan Industrialisasi (Pasar Bebas) terhadap Pendidikan
A. Pengaruh
Globalisasi terhadap pendidikan
Kata
"globalisasi" sendiri diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal.,maksudnya lingkupnya meliputi seluruh dunia. Prijono Tjiptoherjanto
mengemukakan bahwa konsep globalisasi pada dasarnya mengacu pada pengertian
ketiada batasan Negara, sehingga globalisasi dapat diartikan sebagai suatu
proses pengintegrasian manusia dengan segala macam aspek-aspeknya kedalam satu
kesatuan masyarakat yang utuh dan yang lebih besar. Mitos yang hidup selama ini
tentang globalisasi adalah bahwa globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses
globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri suatu bangsa. Globalisasi
berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa yaitu dimensi
ruang dan waktu..Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam
interaksi dan komunikasi pada skala dunia (Sujiyanto,2007:97). Dalam dunia
pendidikan Indonesia, globalisasi membawa banyak dampak dan efek yaitu yang bersifat
positif dan negative.
a.
Dampak
positif globalisasi terhadap dunia pendidikan Indonesia yaitu sbb:
i.
Pengajaran
interaktif multimedia:Yaitu merubah pola pengajaran yang bersifat klasikal
berubah menjadi pengajaran yang berbasis teknologi baru seperti inbternet dan
computer.
ii.
Lahirnya
UUD 1945 yang telah di amandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang
SNP telah membawa paradigma pendidikan dari corak sentralisasi menjadi
desntralisasi
iii.
Pembelajaran
berorientasi kepada siswa : Kurikulum didasarkan pada tingkat kemajuan siswa
KBK yang dicanangkan pemerintah th 2004 merupakan langkah awal pemerintah dalam
mengikutsertakan secara aktif siswa di kelas yang kemudian disusul dengan KTSP
yang didasarkan pada tingkat satuan pendidikan
b. Dampak negative globalisasi terhadap
dunia pendidikan Indonesia yaitu sbb:
i.
Komersialisaai
pendidikan : munculnya sekolah-sekolah swasta elit yang bersaing menawarkan
terobosan terobosan baru dalam dunia pendidikan
sebagai media bisnis.
ii.
Dunia
maya sebagai sarana untuk mengakses informasi, hal ini akan memberi dampak
negative bagi siswa
iii.
Aneka
materi yang berpengaruh bertebaran di internet.
iv.
Ketergantungan
: mesin-mesin penggerak globalisasi, seperti computer dann internet dapat
menyebabkan kecanduan pada diri siswa maupun guru sehingga mereka terkesan tak
bersemangat dalam prose belajar mengajar tanpa bantuan alat-alat tersebut.
B.
Pengaruh
Industrialisasi (Pasar Bebas ) terhadap Pendidikan
Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan
diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU
No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa
dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas
kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa,
yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa
non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”.
Dalam bidang jasa juga berimbas pada perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan arus
globalisasi, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Sehingga bermunculan model-model pendidikan
yang dikenal dan terintegrasi pada system pendidikan Indonesia (Melalui
Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007, pemerintah Indonesia memasukkan pendidikan
sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan secara bebas), yaitu :
1. Home schooling,
sekolah yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena
tuntutan global;
2.
Virtual School dan Virtual University, munculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan; Virtual university merupakan sebuah
aplikasi baru bagi Internet. Virtual university memiliki karakteristik yang
scalable, yaitu dapat menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang
banyak.
3.
Model Cross Border Supply, Dalam hal ini suatu lembaga
pendidikan pada suatu negara menjual jasa pendidikan tanpa kehadiran fisik lembaga
kepada konsumen yang berada di negara lain.
4.
Model Consumption Aboard, Dalam hal ini lembaga pendidikan
suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara
lain.
5. Model Movement of Natural
Persons,
Dalam hal ini lembaga pendidikan di
suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara
mengirimkan personelnya ke negara konsumen.
7.
Kontribusi Pendidikan Islam terhadap
Sistem Pendidikan Nasional
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan
Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan
sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang
serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di
dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah maka madrasah juga
adalah setara, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal (pesantren).
Pendidikan Madrasah merupakan bagian
dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan
pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan
sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan
bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan.
Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau
daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih luas
bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan.
8.
Model Pendidikan Nasional Baru
merupakan Pembaharuan model pendidikan Nasional Lama yang digabungkan dengan
Pendidikan Islam
Kemungkinan
model pendidikan Nasional baru yang merupakan pembaharuan dari model pendidikan
nasional lama yang digabungkan dengan Pendidikan islam adalah pendidikan yang di
mana nilai-nilai agama itu berintegrasi di dalam konsep-konsep illmu dan
teknologi karena mereka sudah lama melihat dunia ini terpotong-potong secara
mekanis, jadi seandainya model pendidikan nasional yang baru adalah
penggabungan factor fisik dan nonfisik seperti kesadaran, rasa dan lain-lain
yang menjadi integral dari suatu konsep ilmu dan aplikasi operasionalnya.
Sekarang
sudah menjamur sekolah-sekolah umum terpadu dengan islam, semoga merekan
melahirkan kualitas sumberdaya insane yang komfetitif, unggul, akidahnya kuat,
takwa, akhlaknya mulia dan karimah dalam tingkat ihsan serta transformasi
budayanya tinggi.
9. Kontribusi antara IMPAQ dan IPTEK
dalam Dunia Pendidikan
IMTAQ
merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan IPTEK adalah singkatan dari
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, apa yang dimaksud keseimbangan imtaq
dan iptek? Sebenarnya kalau boleh dikatakan kalimat tersebut mengacu ke
keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan keimanan. Ilmu pengetahuan umumnya
diperoleh dari bangku sekolah dalam porsi yang relatif besar, sedangkan keimanan
adalah hidayah. Kalau diperoleh dari hidayah artinya adalah tidak semua orang
mendapatkannya karena hidayah Allah-lah yang menentukan.
Memang, ilmu dan keimanan sama-sama bisa
dipelajari. Namun, jika ilmu bisa dipelajari dengan otak, keimanan tidak.
Keimanan akarnya ada di hati.. Hati manusia sejatinya bukan miliknya, tetapi
Allah-lah pemiliknya. Artinya, andaikata seseorang menguasai seluruh ilmu
pengetahuan yang ada di dunia ini, belum tentu dia menguasai hatinya. Menguasai
di sini dalam artian kita bisa mengendalikan sepenuhnya kapan harus cinta,
kapan harus benci, kapan harus beriman, dan kapan tidak beriman.
Sering kita mendengar
istilah “Dunia semakin kecil” atau lebih tenar dengan istilah “Dunia
dalam genggaman”. Begitulah ahli teknologi mengatakan. Mengapa demikian? Dunia
semakin kecil karena kecanggihan teknologi transportasi dan informasi dunia ini
semakin mengglobal dalam segala aspeknya.
Untuk mengikis
semua itu, sudah saatnya pemerintah melakukan tindakan dengan fokus membenahi
masalah imtaq sedini mungkin. Dan tentu dibutuhkan lembaga pendidikan yang
mampu membentuk karakter anak bangsa yang berkualitas. Baik dari segi
keilmuaanya maupun dari segi akhlakul karimahnya. Karena tak jarang kita temui
orang-orang pintar penuh kebobrokan mental. Begitu pula dengan remajanya yang
berlaku seperti jahiliyah di era globalisasi dan informasi seperti
sekarang ini.
Pembenahan imtaq generasi penerus bangsa harus dialkukan sedini mungkin..
Karena moral anak bangsa menjadi tanggung jawab bersama. Edukasi pembinaan
imtaq bisa berawal dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, hingga lembaga
khusus seperti pesantren. Yang penting titik pointnya sama, akhlakul karimah.
Pintar secara iptek memang perlu. Tapi yang lebih perlu lagi adalah pintar
dari iptek yang diselaraskan dengan iman dan taqwa. Karena sejatinya, imtaq
sangat dibutuhkan untuk membangun dan menguasai iptek itu sendiri.
10. Reformasi Pendidikan dilihat dari segi Ontologis (body
of knowledge), epistimologi (Metode) dan Aksiologis (Nilai kegunaannya)
a. Reformasi
Pendidikan dari Segi Ontologis.
Masalah-masalah pendidikan yang menjadi perhatian ontologi adalah bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan
manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar
pada, apa saja potensi yang dimiliki manusia?Menurut Maulana (2008), berbicara
tentang hakikat manusia, ada dua konsep dalam filsafat, filsafat barat dan
Islam. Dalam filsafat barat, konsep manusia itu ada dua yaitu hayawan (Jasmani)
dan natiq (rohani). Aristoteles mendefinisikan manusia itu
sebagai Human Rationale artinya manusia yang punya pikir, Socrates
mendefinisikan manusia itu sebagai Animal Rationale yakni manusia yang
punya akal untuk berpikir. Sedangkan Rene Descartes mengemukakan bahwa adanya
manusia sebagai entitas yang berpikir merupakan sebuah kebenaran yang pasti dan
tak terbantahkan yang menjadi landasan pemikiran dan pengetahuan manusia .
Dalam konsep Islam, manusia terdiri atas tiga unsur yaitu hayawan
(jasmani), natiq (rohani) dan akal, di mana ketiga unsur tersebut dapat diibaratkan
segitiga sama kaki. Dalam hal ini, ada tiga komponen dalam diri manusia yang
harus dikembangkan secara proporsional sesuai dengan perkembangan dan
pertumbuhan dari diri manusia itu sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa
yang harus lebih dulu di isi atau dididik, jasmani, rohani, ataukah akal.
Sesuatu yang pasti bahwa inti harus diisi sesuai dengan kebutuhannya, dan
pengisian ketiga inti secara bersamaan tidak sesuai dengan fitrah manusia
(Maulana, 2008).
Belajar tentang manusia dalam dunia pendidikan sama halnya dengan
belajar tentang hakikat manusia itu sendiri. Konsep Islam lebih tepat dan
sesuai dengan filsafat manusia itu sendiri, karena ada tiga hal yang sangat
esensial dalam konsep ini: Rohani adalah sesuatu yang akan kembali ke Tuhan dan
akan diminta pertanggungjawabannya kelak nanti di akhirat. Sementara Jasmani
sesuatu yang berwujud fisik, itu berada dalam tanah. Sedangkan Akal ada di
kepala sebagai suatu kelebihan manusia dari makhluk lain sebagai ciptaan Tuhan.
Manusia sebagai wujud dari komponen Jasmani, Rohani, dan Akal merupakan
makhluk yang memiliki pemikiran yang masuk akal. Oleh karena itu, manusia
memiliki tiga inti yang harus dipersiapkan untuk dididik. Dalam Islam tiga hal
yang esensial merupakan modal utama dalam mempersiapkan manusia yang sempurna
dunia akhirat. Hal yang sangat mendasar dalam mempersiapkan manusia yang
sempurna menurut konsep islam adalah “Pendidikan”. Dengan pendidikan, manusia
menjadi sadar akan fungsi dan tugas dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sehingga
faham tentang hakikat hidup.
Adanya pendidikan, mendorong manusia untuk menggunakan akal, berpikir
secara logis, meyakini segala sesuatu yang berasal dari Tuhan. Dengan rohani
manusia memiliki rasa peka, empati dan yakin terhadap kebenaran. Sehingga inti
yang paling hakiki dari manusia sesungguhnya adalah rohani. Oleh karena itu,
rohani merupakan inti yang paling tepat untuk didahulukan dalam mendapatkan
pendidikan. Ketika rohani mendapatkan porsi pendidikan yang baik dan
lebih dahulu maka jasmani dan akal dapat mengikuti sesuai dengan porsinya.
Kinerja rohani dalam tubuh sangat vital, segala ide dan perbuatan tergantung
kepada kinerja rohani.
b. Reformasi pendidikan dari
sudut Epistimologi (metoda)
Epistemologi diperlukan dalam
pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum.
Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyampaikannya seperti apa? Semua itu adalah epistemologinya pendidikan.
Lahirnya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah salah satu usaha
baik dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Baik
dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Di mana pendidikan yang sebelumnya
lebih mengarahkan siswa pada aspek kognitif saja. Akan tetapi apa aplikasinya.
Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan kita akan kebutuhan yang diperlukan
anak didik. Harus mengetahui dan memahami berbagai kemampuan atau kelebihan
atau kecerdasan yang dimiliki anak. tidak bisa semua siswa diberlakukan sama.
Sebagai contoh perlakuan antara siswa yang memiliki kemampuan intelektualitas
tinggi dengan yang standart.
c. Reformasi Pendidikan dari Sudut Aksiologis (kegunaan)
Masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari
kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan. Hal ini terjadi karena kebaikan
budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan dan karenanya selalu
dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan. Menurut Drost (2005),
pendidikan bukan hanya soal kemajuan otak ataupun pengetahuan kognitif.
Pendidikan juga bertujuan juga mengembangkan pribadi anak didik agar menjadi
manusia yang utuh dengan segala nilai dan seginya. Oleh karena itu, pendidikan
juga dapat mengajari nilai-nilai kehidupan manusia yang dianggap perlu seperti
nilai sosialitas, nilai demokrasi, nilai kesamaan, persaudaraan dan lain
sebagainya.
Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural
dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Dalam masalah etika dan
estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran
pendidikan, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada
setiap makhluk. Di samping itu pendidikan tidak dapat lepas dari sistem nilai
keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan
bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah (Huda, 2008).
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia
ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa
manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta
dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga
situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang
syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik
dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat
manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan
bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai
peradaban manusiawi.
BAB III
KESIMPULAN
Salah satu masalah dalam sistem pendidikan di Amerika adalah
belum membentuk konsensus tentang peran agama di sekolah. Pendidikan menjadi
tidak efektif karena perselisihan politik tentang peran agama di sekolah.
Sedangkan masalah pendidikan di Indonesia setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, dan hal
itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan
sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) atau dalam terminologi bahasa Inggris lazim disebut
“School Based Management” adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau
kemandirian kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif
yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetpkan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Arti dari evaluasi
kritis dalam reformasi pendidikan itu sendiri menurut House (1976, 1980)
melibatkan praktek dalam melengkapi karya empirik, historis, publik, dan sosial
dengan menggunakan teori-teori keadilan yang memerlukan komitmen serius,
persisten, berani, sadar, dan keyakinan untuk menata dan mengubah kembali
lingkungan-lingkungan pendidikan.
Dalam dunia pendidikan Indonesia, globalisasi membawa banyak
dampak dan efek yaitu yang bersifat positif dan negative.
Perdagangan bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak
fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan
kebijakan pendidikan tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari
lokasinya di arena global, dapat membuka peluang atau menguntungkan tetapi
dapat juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara
berkembang.
Madrasah telah memberikan sumbangan
yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa,
khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan.
Pendidikan
Islam yang mengutamakan outputnya mempunayai akhlak mulia beriman dan bertaqwa
terhadap Alloh SWT, yang dalam perjalananya berkembang terus yang banyak
menyumbangkan terhadap pendidikan Nasional yang cukup besar.
IMTAQ
merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan IPTEK adalah singkatan dari
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan umumnya diperoleh dari bangku
sekolah dalam porsi yang relatif besar, sedangkan keimanan adalah hidayah.
Memang, ilmu dan keimanan sama-sama bisa dipelajari. Namun, jika ilmu bisa
dipelajari dengan otak, keimanan tidak. Keimanan akarnya ada di hati.. Hati
manusia sejatinya bukan miliknya, tetapi Allah-lah pemiliknya. Artinya,
andaikata seseorang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini,
belum tentu dia menguasai hatinya. Menguasai di sini dalam artian kita bisa
mengendalikan sepenuhnya kapan harus cinta, kapan harus benci, kapan harus
beriman, dan kapan tidak beriman.
Masalah-masalah
pendidikan yang menjadi perhatian ontologi adalah bahwa dalam penyelenggaraan
pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan
dunia. Dilihat dari sudut epistemologi adalah seharusnya pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak didik?. Hal ini
tentu terkait dengan pengetahuan kita akan kebutuhan yang diperlukan anak
didik. Harus mengetahui dan memahami berbagai kemampuan atau kelebihan atau
kecerdasan yang dimiliki anak. tidak bisa semua siswa diberlakukan sama.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Feisal, Jusuf (1995) Reorientasi Pendidikan
Islam. Bandung: Gema Insani Press.
Aripin,Daeng. (2010). Sekolah Mandiri dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan. Bandung : Pustaka Al- Kasyaf.
Fadli, 2010, Landasan Filsafat Dalam Pendidikan, (http://fadlibae.wordpress.com/
Gaffar,Afan dkk. (2002). Otonomi
Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho. (2009).
Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jalal, Fasli. Dr,dkk.(2001). Reformasi Pendidikan
Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. Adicita Karya Nusa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara RI: 2003)
www. epaa.asu.edu/ojs/article/view/679
http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/03/landasan-filsafat-dalam-pendidikan/
http://www.peutuah.com/ilmu-pengetahuan-2/aliran-idealisme-pendidikan.html
http://mjeducation.co/krisis-pendidikan-di-amerika/
http://ganis.student.umm.ac.id/2010/01/26/mahalnya-biaya-sekulah-di-masa-sekarang/
estu dyah, dkk makalah (2011)
wawan, dkk makalah (2011)
umar nana, dkk makalah(2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar